Selasa, 11 Juni 2013

(24-Resensi Buku 2013-nusumenep.or.id 9 Juni 2013) Mengenal Pemimpin Punakawan Lebih Dekat

Judul: Semar & Kentut Kesayangannya Penulis: Deny Hermawan Penerbit: Diva Press Tahun Terbit: Januari, 2013 Jumlah Halaman: 190 halaman ISBN: 978-602-7641-82-2 Peresensi: Muhammad Rasyid Ridho
Jawa adalah salah satu etnis terbesar di Indonesia. Banyak peninggalan sejarah masa lalunya bisa kita temukan. Begitu pula dengan budayanya yang –tidak semua orang- bagi sebagian orang dilestarikan. Khususnya, mereka yang sudah tua. Namun, generasi muda kebanyakan sudah enggan walau hanya mengenal saja.

Maka, buku ini hadir untuk mengenalkan lebih dekat salah satu ikon sangat terkenal dalam sejarah Jawa, Semar namanya. Semar merupakan tokoh pewayangan ciptaan pujangga lokal asli nusantara. Tidak akan ditemukan di dalam buku asli Mahabharata dan Ramayana. Statusnya sebagai abdi, namun keluhurannya sejajar dengan Prabu Krishna-dalam kisah Mahabharata- yang merupakan awatara Wisnu. Jika dalam versi asli Bharatayuda penasehat pihak pandawa hanya Krishna seorang, maka dalam pewayangan jumlahnya ditambah menjadi dua, yakni Semar (halaman 11).

Dalam pewayangan Semar sebagai pengasuh golongan kesatria, sedangkan Togog sebagai pengasuh kaum raksasa. Anak asuh Semar akan selalu mendapatkan kemenangan dari anak asuh Togog. Ini adalah simbol. Semar merupakan gambaran perpaduan rakyat kecil sekaligus dewa kahyangan. Yang apabila pemerintah dalam hal ini para kesatria anak asuh semar mendengarkan suara rakyat kecil bagaikan suara tuhan, maka Negara yang dipimpinnya akan unggul dan sentosa.

Semar dan Togog adalah kakak adik yang rakus ingin menjadi penguasa di bumi. Kemudian keduanya bertaruh jika bisa memakan gunung maka dia akan menjadi penguasa di bumi. Semar memakan gunung semuanya hingga tidak bisa mengeluarkan lagi. Maka, jadilah tubuhnya begitu. Sedangkan Togog, makan sedikit demi sedikit dan hasilnya dia menjadi raksasa.

Secara fisik semar memiliki kekhasan yang unik dan memiliki makna simbolisasi dualisme yang ada di dunia. Bulat tubuhnya simbol dari bumi tempat tinggal manusia dan makhluk hidup lainnya. Senyum dan sembab mata semar merupakan simbol suka dan duka yang ada di dunia ini. Semar terlihat tua tapi gaya rambutnya kuncung seperti anak kecil, ini sebagai simbol tua dan muda. Berkelamin laki-laki tetapi memiliki payudara, yang merupakan simbol maskulinitas dan feminitas. Semar juga digambarkan sebagai penjelmaan dewa, namun hidup sebagai rakyat jelata. Ia juga berdiri sekaligus jongkok, merupakan simbol manunggalnya bawahan dan atasan, manunggalnya yang profane dan sakral, manunggaling kawula lan gusti (halaman 14).

Dalam pewayangan, penasehat spiritual sekaligus teman bercengkrama yang menghibur, begitulah tugas punakawan. Semar adalah orang nomor satu di Punakawan. Biasa juga disebut Begawan Ismaya atau Hyang Ismaya. Pembawaannya tenang, sederhana, rendah hati, tulus dan tidak munafik. Sosok Semar kemungkinan awalnya hanya manusia biasa, namun dalam perjalanan pewayangan mendapatkan pengembangan baik sebagai awatara dalam hindu ataupun Nabi utusan Tuhan dalam agama-agama samawi. Badranaya adalah nama lainnya di dalam tradisi Jawa yang berarti bebadradengan arti membangun sarana dari dasar dan naya/nayaka berarti utusan. Jika digabungkan Semar adalah utusan Tuhan demi kesejahteraan manusia.

Bagi masyarakat kejawen Semar dihormati dan dipercaya sebagai sosok spiritual pelindung yang memberi berkah dan keselamatan bagi pemujanya. Semar juga dipercaya menitis menjadi Ki Sabdo Palon, yang konon adalah penasihat spiritual raja Majapahit di era keruntuhannya (halaman 17).
Saking beraneka ragam versi Semar di nusantara, maka hampir setiap daerah Semar dan Punakawan bisa dikatakan berbeda antara satu dengan lainnya. Misal di Jawa Tengah, Semar selalu disertai anak-anaknya. Yaitu Gareng (Sulung), Petruk (tengah), dan Bagong (bungsu). Dalam pewayangan Sunda anak-anak Semar yang sering ditampilkan dalam wayang golek adalah Cepot (sulung), Dawala (tengah), Gareng (bungsu). Di Jawa Timur, Semar hanya memiliki satu anak saja yakni Bagong dan Bagong memiliki anak yang bernama Besut. Sedangkan, di Cirebon, Semar disebut memiliki delapan anak. Yaitu, Gareng, Duwala, Bagong, Curis, Bitarota, Ceblok, Cungkring, dan Bagol Buntung.

Deny Hermawan sebagai penulis buku ini tidak saja menyajikan sejarah asal-usul Semar beserta bagaimana Semar dikenal di kawasan Nusantara. Penulis juga memberikan situs-situs sejarah yang konon peninggalan Semar. Salah satunya Gua Semar di Dieng, Jawa Tengah. Presiden ke 2 RI, Soeharto sempat menjalan ritual dari tempat ke tempat lain, termasuk Gua Semar yang terakhir. Konon, di tempat tersebut Soeharto mendapatkan wangsit untuk menjadi Presiden.

cover diambil dari rimanews.com
Begitulah buku yang berisi 190 halaman ini hadir di tengah-tengah kita, untuk mengenalkan salah satu budaya asli Indonesia, terutama Semar. Walau tidak mempercayai paling tidak kita bisa memahami sejarah bagaimana nusantara dahulu kala. Dari itu kita bisa belajar, agar Negeri ini semakin baik ke depannya dengan nilai-nilai yang luhur. Serta menjadi lebih menjaga budaya dan sejarah yang dimiliki, sebelum budaya yang dimiliki direbut orang lain.

Muhammad Rasyid Ridho, Alumni Pondok Pesantren Al-Ishlah Bondowoso. Penulis Tinggal di Malang.

*dimuat di  nusumenep.or.id  9 Juni 2013 http://nusumenep.or.id/mengenal-pemimpin-punakawan-lebih-dekat/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar