Rabu, 27 Maret 2013

(11-Resensi Buku 2013-Kompas 24 Maret 2013) Si Mungil Sang Penyelamat


udul                            : Steven, Where Are You?
Penulis                          : Dita Indah
Penerbit                       : (Bintang Kecil) Bentang Belia
Tahun Terbit                : November, 2012
Jumlah Halaman          : 110 Hal
ISBN                           : 978-602-9397-63-5
Peresensi                     : Muhammad Rasyid Ridho, Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi UMM. Ketua Journalistic Club Ikom Universitas Muhammadiyah Malang dan bergiat juga di Forum Lingkar Pena Malang Raya.

Sejak kepergian Steven yang hilang tak tahu di mana, Rafa memulai petualangannya. Dia mencari ke mana saja untuk menemukannya. Dalam perjalanan Rafa menemukan seekor kucing di sebuah hutan yang kemudian dia namakan ‘Mungil,’ karena tingkahnya yang lucu dan tubuhnya mungil. Rafa sangat suka dengan biskuit yang dibawa sebagai bekal oleh Rafa.

Mungil menemani Rafa dalam petualangannya mencari Steven. Petualangannya dimulai. Petualangan yang seru dan menegangkan. Di sebuah sungai Rafa bertemu dengan anak kembar, Joy dan Randy yang baik.  Mereka membolehkan Rafa tidur di rumah mereka ketika menjelang malam. Esok paginya, Rafa segera pamit pada keduanya untuk melanjutkan perjalanan.

Setelah cukup jauh dari rumah si kembar, Rafa bertemu dengan lelaki berbadan kekar yang hendak mengambil tasnya. Untung saja mungil bisa menolong Rafa dengan mencakar muka lelaki itu dan mereka pun selamat. Dalam perjalanan  berikutnya mereka bertemu dengan Elin dan adiknya Lala, yang memberinya air mineral saat kelaparan. Lala sangat suka dengan Mungil.

Sekali lagi Mungil yang menggemaskan menjadi super hero ketika membantu Bu Kekei yang tasnya dicopet. Rafa juga mendapatkan uang karena membantu petani buah apel. Dan di akhir kisah setelah bertemu dengan Steven, Mungil berubah menjadi lelaki berbadan besar yang ternyata Raja Gilford dari Magic Land. Pantas saja Mungil  begitu hebat mengalahkan musuh-musuh Rafa dalam petualangannya mencari Steven. 


Buku-Buku Yang Habis Kubaca Februari 2013


1. Menjadi Guru Inspiratif-A. Fuadi, dkk
Buku ini berisi 14 kisah nyata inspiratif mereka yang menjadi guru. Kisah-kisah mengharukan dengan suka duka saat menjalani pengabdian menjadi guru bangsa. Mencerdaskan para generasi, yang kata Ahmad Fuadi sebagai petani peradaban. Buku yang layak dibaca para guru, orang tua dan seluruh manusia yang pernah memiliki seorang yang bernama guru. Pemesanan bisa melalui fesbuk Bentang Pustaka.





Dokumentasi pribadi

2. Lupa Endonesa-Sujiwo Tejo
Punakawan yang dalam sejarah Indonesia hanya ada dulu, ya di zaman dulu. Namun, di tangan Sujiwo Tejo punakawan terlahir kembali di zaman sekarang, di saat Indonesia sudah mengalami reformasi. Punakawan dengan gayanya yang unik, lucu, menggemaskan, kadang pula bikin mangkel setengah mati dengan hiburannya yang membuat kita tak lupa akan Indonesia. Ya, Indonesia dengan segala yang di dalamnya. Korupsi, permainan hukum, ketidakadilan. Benar-benar menghibur. Pemesanan bisa melalui fesbuk Bentang Pustaka.



Dokumentasi Pribadi

3. Ayyub & Ulat-Ulat yang Menggerogotinya- Muhammad Makhdlori
Jika ada orang yang mengatakan sabar itu ada batasnya, maka dia perlu membaca kisah Nabi Ayyub. Salah satunya dalam buku sejarah Ayyub yang sudah menjadi novel ini. Dengan itu pembaca akan lebih mudah memahami alur cerita dengan baik. Dengan bahasa yang mudah dan cukup menyentuh, Makhdlori mengingatkan kita bahwasanya sabar itu tak berbatas, seperti syukur yang harus dilakukan terus menerus. Pemesanan buku ini bisa di www.divapress-online.com



Dokumentasi pribadi

4. Meraih Mimpi Dengan Alunan Biola-Fakhri Violinis
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, begitu kata pepatah. Begitu juga dengan Fakhri, anak seorang munsyid(pelantun nasyid) Ikhsan, salah satu personel SNADA. Maka, kehidupan Fakhri tak jauh-jauh dari dunia musik. Sejak kecil Fakhri menyukai biola karena keunikan bentuknya. Sampai saat ini dia sering membawakan lantunan biola baik di dalam dan luar negeri. Selain itu pula, dia termasuk SNADA Kids. Buku ini bermaksud memberi motivasi pada pembaca sasarannya, yakni anak-anak kecil agar tak pantang menyerah meraih mimpi. Pemesanan bisa melalui fesbuk Penerbit Tiga Serangkai.



Dokumentasi pribadi

5. Pilih Islam atau Mazhab-Hasan bin Farhan Al-Maliki
Autokritik adalah upaya membangun dan memperbaiki keadaan. Termasuk penulis yang bermazhab Hanbali pun mengkritik mazhabnya  sendiri untuk kebaikan mazhabnya. Mazhab Hanbali yang termasuk salah satu mazhab paling banyak pengikutnya saat ini seringkali melakukan pembid’ahan bahkan pengkafiran kepada mazhab lain. Sangat disayangkan memang, dan itulah yang menjadi kritik bagi Mazhab Hanbali dari pengikut mazhabnya sendiri. 



Dokumentasi pribadi

6. Kisah Indah Seputar Santri-Binta Al-Mamba dkk.
Buku ini berkisah tentang pengalaman beberapa penulis saat menyantri di sebuah pondok. Ada kejadian lucu, senang, sedih sampai menyeramkan. Salah satu kisah di dalamnya adalah tulisan karya saya saat menyantri di Pondok Pesantren Al-Ishlah Bondowoso. Saya jamin, nggak akan rugi membaca buku ini. Yang tidak pernah nyantri jadi tahu, yang pernah nyantri bisa jadi media nostalgia karena mungkin ada kemiripan. Pemesanan bisa ke saya sms 087857574521.



Dokumentasi pribadi

(10-Resensi Buku 2013-Metro Riau 24 Maret 2013) Bunga Yang Tak Harum Selamanya


Judul                            : Bunga-Bunga Kertas
Penulis                          : Khusnul Khotimah
Penerbit                       : Safirah (Diva Press)
Tahun Terbit                : Pertama, 2012
Jumlah Halaman          : 308 halaman
ISBN                           :  978-602-7640-10-8
Peresensi                     : Muhammad Rasyid Ridho, Ketua Journalistic Club Ikom UMM dan anggota  Forum Lingkar Pena Malang Raya. Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi UMM.

Bunga namanya. Selayaknya orang tua memberi nama Bunga karena ingin anaknya, seperti bunga, harum sepanjang masa. Nama adalah Doa, katanya. Sayang, kehidupan kadang begitu misterinya sehingga nama hanya menjadi nama yang tak ada guna. Namun, bukan kehidupan namanya, jika selalu dalam kedukaan selalu tanpa ada kebahagiaan.

Bermula dari kehidupan orang tuanya, yang mulai merenggang. Karena kedatangan seorang perempuan di masa lalu Ayahnya yang bernama Siska. Dia adalah teman Ayahnya saat sekolah SMA di Jakarta. Awalnya, Ayahnya memperkenalkan Siska datang sebagai sejawat bisnisnya saat ini. Tentu saat itu Bunga dan Bundanya tak mempermasalahkan.

Namun ketika Bundanya menemukan HP ayahnya yang ketinggalan saat ada telepon dan sms. Ketika Bunda mangambil HP itu, Bunda kaget melihat tertera nama pengirim sms “Siskaku.” Ditambah lagi isi smsnya,“Sayang, aku tunggu kabarmu. Aku juga akan segera mengugat cerai suamiku yang tidak berguna itu.”Bunga dan Bundanya saat itu dilanda sedih dan kecewa yang sangat pada Ayah (Halaman 26-27).

Sejak peristiwa itu pula Ayahnya menjadi orang yang tidak seperti biasanya. Yang biasanya baik sejak saat itu mudah marah bahkan memukul Bunda dan Bunga. Ayah juga bersikeras agar Bunda dan Bunga setuju kalau dia menikahi Siska. Ini harus dilakukan, Sebab Ayah dan Siska dulu pernah mengikuti sebuah aliran sesat yang mewajibkan mereka berdua menikah agar tak terkena kutukan.

Namun, Bunda dan Bunga tak mau. Karena, itu alasan yang tak masuk akal. Ayahnya yang dulu mengajari Bunga nilai-nilai agama malah Ayahnya yang kini hilang kesalihannya. Akhirnya, sejak saat itu rumah tak seperti dulu lagi. Selalu ada marah-marah Ayah dan Bunda selalu menangis.

Bunga tak tahan, dia memutuskan untuk kabur dari rumah. Bukannya menyelesaikan masalah, hal ini menimbulkan masalah lain. Bunga bertemu Hanum dan mengajaknya tinggal dulu dirumahnya. Hanum kelihatan baik sekali, walau ragu Bunga percaya akhirnya. Sayang, ketika Hanum berangkat kerja Ardi (suami Hanum) membuka paksa kamar yang ditempati Bunga dan memperkosanya.

Sejak kejadian itu, Bunga merasa kotor walaupun dia memakai jilbab besar. Singkat cerita akhirnya dia pulang ke rumah dan Bundanya sakit dan meninggal. Ayahnya menikah lagi dengan tante siska. Bunga hamil dan kabur dari rumah sampai anaknya lahir, dia berusaha mencari kerja sendiri untuk menyambung hidup.

Ternyata majikan di mana tempat Bunga bekerja adalah bawahan Ayahnya. Dari dia pula Bunga tahu bahwa Ayahnya, kecelakaan dan hilang ingatan. Bunga membawa Ayahnya bersama dia. Siska menjadi penguasa di perusahaan Ayahnya. Tak sengaja dia bertemu Hanum yang ternyata teman majikannya dan mengajak Bunga menjadi sekretarisnya.

Saat itu kehidupannya mulai baik. Sampai suatu ketika dia bertemu lagi dengan teman lamanya sedang sakit di rumah sakit, Nabilla. Dari pertemuan itu pula Bunga bertemu Azwar kakak Nabilla yang ingin menikahinya. Kisah berakhir happy ending dengan pernikahan keduanya.

Setidaknya, pembaca bisa mengambil hikmah dari novel ini, hidup tidak selalu mulus seperti yang diharapkan, kadang ada kesusahan kadang ada senang. Keduanya datang bergiliran. Karenanya, pasrah segalanya pada Allah adalah utama. Dibarengi dengan ikhtiar yang purna. 

(03-Reportase 2013-22 Maret 2013 Harian Surya) Jangan Takut Salah!


Café memang selalu menjadi tempat yang nyaman untuk kopdar (kopi darat) atau sekedar santai menghabiskan waktu bersama kawan. Kami pun begitu menghabiskan waktu di sebuah café yang cukup elegan, Green Camp Us di daerah Tirto Malang. Sambil menyesap minuman yang kami pesan, waktu kami termanfaatkan dengan suatu yang baik.
                Kala itu kami sekitar 7 orang berkumpul mengikuti sharing penulisan yang diadakan oleh Journalistic Club Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang. Kali ini sebagai pemateri adalah penulis Abrar Rifai. Dia telah merampungkan satu novelnya yang berjudul Laila. Walau di luar hujan, semangat kami tak turut padam karena air hujan. Justru, kami menikmati sejuknya hujan, sembari mengobrol soal penulisan.
                Di acara yang santai ini kami serius menyimak apa yang disampaikan penulis yang telah lama telah tinggal di sebuah Pondok Pesantren Babul Khairat di Lawang tersebut. “Menulis adalah proses menulis di otak. Yang kemudian memindahkan tulisan di otak itu ke buku tulis, laptop, PC, Ipad dan sejenisnya,” ungkapnya mengawali pembicaraan.
                Dia sama sekali tidak setuju jika menulis itu berteori. Menurutnya, menulis itu tidak bisa diteorikan. Penulis yang lagi merampungkan sekuel Laila, yang berjudul Mahabbatain, ini mengatakan “Kalau menulis ya menulis saja, tak perlu bingung karya kita ini bagus apa nggak.”
Dia menambahkan abaikan saja dulu kesalahan yang ada. Tulis dulu semua yang ada di otak. Menulis itu seperti anak kecil yang terus tumbuh menjadi besar. Belajar duduk, belajar berjalan dan seterusnya. Begitu pula dengan menulis maka setiap hari maka akan semakin baik tulisan kita.
                Menulis dan membaca itu adalah saudara kandung yang tidak bisa dipisahkan. Maka, kewajiban kita yang belajar menulis selain menulis adalah membaca. Abrar menyarankan untuk jangan pilih-pilih bacaan, membaca apa saja yang ada, baik fiksi ataupun nonfiksi. Jika ingin menulis nonfiksi, jangan hanya membaca fiksi saja tetapi baca juga buku-buku nonfiksi, koran, dan lainnya. Karena, itu materi-materi yang akan kita tuliskan dalam tulisan fiksi. Dari nyata, ke tulisan fiksi.
                Selain itu saran Abrar adalah banyak menonton, banyak mendengar, kemudian ditanggapi dengan tulisan. Dia juga menguatkan motivasi dan keberanian audience yang hadir untuk tidak hanya menulis kemudian disimpan. Menulislah lalu dipublis! Sekarang zaman sudah canggih, bisa di fecebook atau blog yang berbagai macam itu. Terakhir, Abrar mengatakan penulis pemula itu harus berkomunitas. Agar terjaga semangat menulisnya. Ada seperti JC ini, ada FLP yang lebih besar, dan banyaknya grup penulisan yang banyak di Facebook.
                Dalam sesi pertanyaan, salah satu audience menanyakan perihal bahwa dia pernah membaca sebuah buku bahwa menulis itu harus bersastra. Akhirnya, hal itu membuat dia takut untuk menulis. Maka, dengan tegas Abrar menolak pendapat penulis buku tersebut. Karena, tidak semua buku harus sastra. Menulis sajalah, mengalir saja. Menulis jangan takut salah! 

(08-Resensi Buku 2013-Koran Kampus Bestari Maret 2013) Kiprah Petani Peradaban Menyemai Bibit Bangsa


Judul                            : Menjadi Guru Inspiratif (Man Jadda Wajada 2)
Penulis                         : A. Fuadi, dkk
Penerbit                     : Bentang
Tahun Terbit             : Pertama, Desember 2012
Jumlah Halaman        : 186 Hal
ISBN                            : 978-602-8811-80-4
Peresensi                   : Muhammad Rasyid Ridho, Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi UMM. Ketua Journalistic Club Ikom Universitas Muhammadiyah Malang dan bergiat juga di Forum Lingkar Pena Malang Raya.
            Banyak yang mengatakan guru adalah singkatan dari digugu dan ditiru.  Ada pula yang menyatakan,without teachers we are nothing. Nama guru pula tak jauh dari kehidupan kita, sejak awal pertumbuhan biasanya yang kita kenal adalah guru ngaji (ustad) karena mulai belajar Al-Qur’an di mushala terdekat. Kemudian menginjak usia lebih bertemu guru di Taman Kanak-Kanan (TK), Sekolah Dasar dan seterusnya. Betapa sangat jarang kita merasa jika melihat diri kita sekarang, semua itu sungguh ada pengaruh dari apa yang pernah disampaikan guru-guru kita terdahulu.
            Ahmad Fuadi penulis novel best seller Negeri Lima Menara, mengambil tema tentang guru untuk buku Man Jadda Wajada series kedua. Ahmad Fuadi mengenang semua ustadz terutama Kiai pondok pesantren yang memberikan banyak jasa baginya, Pondok Modern Gontor. Karena, tarbiyah (pendidikan)  di sanalah, dia bisa menjadi seperti sekarang. Itulah kenapa tema yang dipilih adalah guru.
            Ahmad Fuadi mengatakan guru adalah petani peradaban. Guru menyiapkan bahan dan lahan belajar di kelas, memelihara baik-baik bibit penerus bangsa, menyirami mereka dengan ilmu dan memupuk jiwa mereka dengan karakter yang luhur. Bila tiba masa kelulusan, guru akan tersenyum bahagia ketika anak didiknya meninggalkan sekolah, tumbuh besar, dan memberi manfaat buat orang lain. Guru yang ikhlas adalah petani yang mencetak peradaban (halaman 1-2).
            Berbeda dengan kisah Ahmad Fuadi di Negeri Lima Menara, Muhammad Al Aliy Bachrun yang juga santri Pondok Modern Gontor bercerita tentang tradisi Ping Sewu di pondok tersebut. Ketika ustad menyampaikan topik tentang kebaikan, keikhlasan, semangat, kerja keras, pengorbanan dan hal positif lainnya selalu dilakukan berulang-ulang dalam setiap kesempatan. Itulah yang dimaksud dengan Ping Sewu, seribu kali menyampaikan kebaikan.
Awalnya Aliy bertanya-tanya dan merasa bosan kenapa mesti selalu diulang-ulang sampai seringkali. Baru, setelah mengajar dia mengerti dan paham mengapa mesti sampai seribu kali menyampaikan kebaikan. Tepatnya, ketika dia pun telah menjadi ustad, apa yang disampaikan ustadnya berkali-kali dulu bagaikanmusic player yang berputar (halaman 55). Sehingga, dia dengan mudah menyampaikan kepada santrinya kini apa yang dulu ustadnya sampaikan kepadanya. Betapa Ping Sewu begitu mengena dalam sebuah proses belajar mengajar.
            Kita akan mendapatkan pula kisah Drs. Suhardi, M.Pd, yang diceritakan oleh anaknya sendiri Faradhilla Dhevi yang berjudul Istana Impian. Dalam tulisannya, Dhevi menceritakan sang Ayah yang ditugaskan sebagai pegawai TK-ST (Tenaga Kerja Sukarela Terdidik) di sebuah desa transmigrasi yang belum tertulis di peta, Sungai Bahar.
            Ayah Dhevi memiliki keinginan agar anak-anak di Sungai Bahar bisa meneruskan ke jenjang pendidikan SMA. Inilah istana impian yang dimaksud, istana putih abu-abu. Karena jauhnya jarak SMA di daerah itu, akhirnya banyak impian anak-anak yang ingin melanjutkan ke SMA kandas di tengah jalan. Dengan penuh semangat Pak Suhardi berjuang mencari dukungan agar bisa mendirikan istana impiannya itu. Dimulainya dia mendatangi kades setempat. Ternyata Pak Kades sangat setuju. Berkat pengarahan Pak Kades pula, warga pun bersedia untuk membantu apa yang mereka bisa untuk membangun SMA. Mereka rela jika hasil panen sawitnya dipotong untuk iuran. KUD pun turut menyumbang.
            Namun begitulah, tugasnya tak berhenti di situ. Setelah, terpilih menjadi kepala sekolah yang berarti menjabat rangkap sebagai kepala sekolah SMP dan SMA. Hambatan yang menurutnya adalah anugerah. Dia harus menghadapi berbagai macam guru berikut sifat dan sikapnya. Pak Suhardi, melewati semua itu dengan sabar. Akhirnya, para guru-guru itu pun tersadar dan menyamakan visi dan misinya.
            Selain tiga tulisan di atas, buku ini juga memuat 11 tulisan lain yang tentu saja tak kalah menginspirasi tentang perjuangan seorang guru  yang masih tetap pendiriannya sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Buku ini sangat layak dibaca oleh calon sarjana pendidikan untuk merecharge semangat membangun peradaban bangsa juga bagi guru agar tak luntur pengabdiannya dalam menyemai bibit bangsa.*naskah pemenang pertama lomba menulis resensi dalam rangka ulang tahun Bestari 


(09-Resensi Buku 2013-RadarSeni.com 16 Maret 2013) Asmara Wanita Pecinta Sejenis


Judul: Ashmora Paria
Penulis: Herlinatiens
Penerbit: Diva Press
Tahun Terbit: Pertama, November 2012
Jumlah Halaman: 344 halaman
ISBN:  978-602-225-004-4
Peresensi: Muhammad Rasyid Ridho

Cinta sesama jenis yang biasa disebut lesbi bila sesama perempuan dan guy bila sesama laki-laki, memang tabu dalam masyarakat kita. Terutama yang bagi yang taat beragama, karena itu termasuk melenceng dari fitrah manusia dilahirkan ke dunia. Namun, bagi mereka yang berpikiran bebas. menganggap hal ini sah-sah saja. Tak ada larangan untuk mencintai sesame jenis bahkan sampai menikah. Dengan berbagai propaganda mereka berupaya menyebarluaskan ide ini kepada masyarakat, salah satunya melalui novel ini, Ashmora Paria.

Ashmora Paria adalah seorang lesbian yang sangat mencintai kekasihnya, Rie Shiva Ashvagosha. Pertemuan mereka saat Paria sedang menjadi mahasiswi di Paris. Karena mereka saling mencintai, mereka memutuskan untuk menikah. Mereka menikah di Gereja Blaspheme di daerah Pont Marie (halaman 30).

Dengan disaksikan dua orang saksi, Mademoiselle Colette dan Mademoiselle Claudine mereka resmi menikah. Sebagaimana dalam dunia lesbian ada dua istilah butchie yang merepresentasikan pasangan lesbi yang berperan maskulin dan femme merepresentasikan pasangan lesbi yang feminin (halaman 20). Paria sebagai femme dan Rie sebagai butchie.

Sayangnya mereka harus berpisah disebabkan Rie dipaksa dengan keluarganya untuk menikah dengan lelaki. Walaupun begitu Paria masih terus percaya dan setia menunggu kedatangan Rie untuknya suatu saat nanti. Selama masa menunggu itu dia selalu curhat kepada kedua teman terdekatnya.

Mereka adalah Gita Bayuratri dan Rafael. Gita mulanya sahabat yang tak menyetujuinya dengan kelakuan Paria yang memilih mencintai perempuan, namun akhirnya dia membiarkan apa yang dimau sahabatnya tersebut. Rafael mulai taat beragama dan mengatakan bahwa apa yang dilakukan Paria adalah kesalahan. Selain itu ternyata diam-diam Rafael mencintai Paria dan mengajaknya menikah. Namun, Paria menolak karena dia menganggap hubungannya dengan Rafael cukup sahabat saja.

Di tengah kelesuan dan antara keraguan akan keyakinan cinta Paria hanya untuk Rie, datanglah Mahadevi yang bertemu dengannya yang disebabkan demo mahasiswa sosialis. Devi sapaan akrabnya, selain menyukai laki-laki (Daniel pacarnya) ternyata dia juga tertarik kepada Paria. Maka, terjadilah di suatu malam dia menikmati tubuh Paria dan Paria menyesal karena telah menodai sumpah cintanya kepada Rie.

Sejak itu Devi seringkali menginap di rumah Paria. Namun, Paria akhirnya merasa tak nyaman dan menyuruhnya untuk tak sering-sering datang lagi ke rumahnya. Pertemuan dengan Devi ternyata mempertemukan dengan Mahendra. Lelaki yang dulu membuat bibirnya tak perawan lagi ketika di bangku SMP (halaman 196).
Hendra ingin menikahinya. Dia bingung karena tak ingin mengkhianati Rie. Di lain sisi dia ingin diterima oleh keluarganya yang darah biru dan tak menerimanya lagi kecuali bapaknya. Dengan itu dia menyetujui nikah dengan Hendra namun hanya formal saja, maka dia akan diterima lagi dengan keluarganya.

Tak dinyanya, menjelang hari H pernikahannya datang surat untuk dari Paris. Surat yang harum itu ternyata dari kekasihnya, butchienya, Rie Shiva Ashvagosha. Ternyata dia sedang terbaring di rumah sakit karena leukemia, Rie menunggunya (halaman 325). Paria sakit juga merasakannya. Tanpa berpikir lagi, dia langsung membawa kopernya ke bandara. Mau ke kotanya, kota tujuan akhirnya, rumahnya, Paris. ***


(1-Gagasan Jawa Pos 2013-19 Februari 2013) Menjadi Guru Bukan Untuk Mengeluh*



            Beberapa hari lalu saat saya membimbing adik-adik di sebuah sekolah dasar membuat madding, saya menemukan seorang guru mengeluh di hadapan saya. “Di sini kurang fasilitasnya mas. Saya ingin di sini ada aula khusus untuk acara. Mushala dan perpustakaan sudah sering dipakai kegiatan siswa lain. Jadi kalau ada ruangan khusus, jadi enak mas kalau ada kegiatan seperti. Tapi ya itu di sini ini sulit mas Ridho, nggak seperti tempat lain.”
            Saya hanya tersenyum dan mendiamkan apa yang dikatanya. Saya sangat menyayangkan seorang guru yang mengeluh hanya karena kekurangan fasilitas. Sungguh, dalam hati saya bertanya apa dia tidak malu dengan anak didiknya yang tetap ceria dan bersungguh-sungguh dalam belajar walau dalam kekurangan?
            Apa dia belum tahu bagaimana kiprah Pengajar Muda yang digagas Indonesia Mengajar. Mengajar di daerah pelosok yang bahkan sulit listrik dan alat-alat belajar mengajar lainnya, tidak seperti di tempatnya yang sudah ada listrik. Namun, mereka tetap semangat mengabdi, menyalakan peradaban tanpa mengeluh.
            Seorang guru yang digugu dan ditiru, tak selayaknya menjadi pengeluh. Karena ia adalah pengajar anak bangsa agar semangat menjalani hidup meraih masa depan yang lebih baik. Jika gurunya saja mengeluh maka bisa jadi anak didiknya tak jauh dari gurunya nanti. Harapannya, semoga semakin banyak guru dengan semangat mengabdi tanpa batas dan tanpa mengeluh.

*judul diganti oleh redaksi menjadi Guru Jangan Tularkan Keluhan. Dan ada beberapa yang diedit.